DZIKIR DAN DO'A



Secara etimologis , kata DZIKIR berasal dari bahasa Arab yg berarti menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, mengerti, perbuatan baik. Secara terminologis, dalam Ensiklopedi Islam dikemukakan TIGA DEFINISI DZIKIR.
PERTAMA , “dzikir adalah ucapan lisan, gerakan raga, maupun getaran hati sesuai dgn cara2 yg diajarkan agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.”
KEDUA, “dzikir adalah upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah dgn selalu ingat kepada-Nya.”
KETIGA , “keluar dari suasana lupa, masuk ke dalam suasana MASYHADAN (saling menyaksikan) dgn mata hati, akibat didorong oleh rasa cinta yg mendalam kepada Allah I. [1]
Dari definisi2 tsb dapat dipahami bahwa dzikir adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dgn melakukan cara2:
1) Dengan mengucapkan kalimat2 yg diajarkan oleh agama seperti membaca al-Qur’an,
kalimah2 thayyibah yg diajarkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits dijelaskan:
ﺃَﻓۡﻀَﻞُ ﺍﻟﺬِّﻛۡﺮِ ﻓَﺎﻋۡﻠَﻢۡ ﺃ ﻧَّﻪُ ﻻَ ﺇِﻟٰﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ
“Dzikir yg paling utama, ketahuilah, adalah tiada Tuhan kecuali Allah.”
Di samping itu banyak sekali kalimat2 dzikir yg ada tuntunannya dari Rasulullah saw. Kita dapat mengetahuinya lebih jauh pada kitab2 dalam kitab Ilmu Hikmah seperti pada kitab
Khozinatul Asrar, Kitab Jawahir al-Khoms, Syamsul al-Ma’arif, Manba’ushul al-Hikmah , dan lain2.
2) Dengan gerakan raga. Dzikir dgn raga seperti sujud, ruku, duduk sambil wirid, dan mengangkat tangan ketika berdo’a.
3) Dzikir dengan hati, yaitu dzikir dgn mengingat Allah. Orang yg sudah mampu dzikir dengan hati, akan selalu ingat kepada Allah karena dirinya sudah mencapai kepada derajat cinta kepada Allah. Untuk mencapai kepada derajat sudah mencintai Allah I ada tahapan2 yg perlu dilalui oleh seseorang. Tahapan yg paling awal dzikir dengan lisan.
Untuk bisa dzikir dgn lisan-pun biasanya karena ada dorongannya. Salah satu dorongan itu adalah karena adanya kebutuhan yg tidak bisa dipenuhi oleh hasil kemampuan bekerja dengan modal ilmu dan kerja jasmaniah.
Keadaan seperti ini, banyak orang kemudian mohon bantuan kepada yg maha kuasa yaitu Allah. Maka dilakukanlah dzikir dgn lisan, dgn disertai gerakan jasmaniah, dan hati ingat kepada Allah.
Menurut IBNU ‘ATHAILLAH dalam kitabnya AL-HIKAM, sebagaimana yg dikemukakan di dalam Ensiklopedi Islam, DZIKIR TERBAGI KEPADA TIGA MACAM:
1. DZIKIR JALI (Dzikir Jelas, Nyata)
Dzikir Jali adalah perbuatan nyata untuk mengingat Allah dalam bentuk ucapan lisan yg mengandung arti pujian, rasa syukur, dan do’a kepada Allah. Dzikir Jali menampakkan suara yg jelas yg berfungsi untuk menuntun gerak hati.
Contoh dzikir Jali adalah membaca tahlil (laailaaha illallah), tahmid (al-hamdulillah), tasbih (alhamdulillah), takbir (allahu akbar), membaca al-Qur’an dan do’a2 lainnya.
Dzikir Jali ada yg terikat dgn waktu, tempat atau amalan lainnya. Seperti bacaan dalam shalat, bacaan ketika ibadah haji, do’a2 ketika makan, tidur, berhubungan intim, pergi keluar rumah, pergi memulai perjalanan, mulai bekerja, ketika angin kencang bertiup, dan sebagainya.
Ada pula dzikir yg sifatnya mutlak tidak terikat waktu dan tempat, atau amalan lainnya. Seperti membaca tahlil, tahmid, tasbih, dan takbir . Dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
2. DZIKIR KHAFI (Dzikir Samar, Tidak Tampak)
Dzikir Khafi adalah dzikir yg dilakukan secara khusyu’ oleh ingatan hati, baik disertai dzikir lisan atau tidak. Orang yg sudah mampu melakukan dzikir ini maka hatinya akan selalu merasa memiliki hubungan dgn Allah. Dia selalu merasa mempunyai hubungan dgn Allahdimanapun dia berada dan kapan-pun waktunya. Apabila dia melihat suatu benda maka yg dia ingat adalah penciptanya. Apabila melihat sesuatu yang terjadi maka hatinya akan teringat bahwa kejadian itu terjadi karena kehendak dan izin Allah [2]
Orang yg sudah mampu melakukan Dzikir Khafi, hatinya akan selalu terkait kepada Allah. Apabila dia melakukan suatu perbuatan, maka hasilnya akan dipandang sebagai prestasi yg diberikan oleh Allah, tidak memandang sebagai hasil kerja dirinya sendiri. Segala sesuatu yg dimilikinya dipandang sebagai titipan dan karunia Allah I, tidak merasa bahwa yg dimilikinya adalah milik sendiri, tapi semuanya milik Allah.
3. DZIKIR HAQIQI
Dzikir Haqiqi adalah dzikir yg dilakukan oleh jiwa raga, lahiriyah dan batiniyah secara konsisten kapan pun dimana pun dia berada, dgn melaksanakan apa yg diperintahkan Allah I dan menjauhi yg dilarang oleh Allah secara ketat. Pikirannya hanya ingat kepada Allah.
Untuk mencapai derajat Dzikir Hakiki harus terlebih dahulu terlatih melaksanakan Dzikir Jali dan Dzikir Khafi .
Biasanya orang melakukan dzikir dengan cara duduk berdiam diri dengan menghadap ke arah kiblat. Sebenarnya, dzikir tidak mesti demikian, orang berdzikir boleh sambil berdiri, berjalan, berbaring dan posisi lainnya. Imam Muslim
meriwayatkan hadits yang bersumber dari Aisyah Ra. bahwa Rasulullah senantiasa mengingat Allah I (berdzkir) dalam setiap saat.
Berdzikir secara teratur dan dengan disiplin merupakan sebuah kebutuhan bagi manusia baik Dzikir Jali , Dzikir Khafi maupun Dzikir Haqiqi, karena dzikir adalah sarana untuk mencapai ketenangan batin, memperoleh pahala dari Allah, sarana mendekatkan diri kepada Allah, dan sebagai sarana berdo’a kepada Allah.
Allah memerintahkan kepada kita agar melakukan dzikir agar mendapatkan ketenangan batin, Allah berfirman: ” Hendaklah kamu mengingat Allah (dzikir) maka hatimu akan tenang .” (al-Ra’d: 28).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yg bertasbih setiap selesai shalat sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali, kemudian digenapkan menjadi 100 kali dgn membaca:
ﻻَﺇِﻟٰﻪَ ﺇِﻻَّﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣۡﺪَﻩٗ ﻻَﺷَﺮِﻳۡﻚَ ﻟَﻪٗ، ﻟَﻪُ ﺍﻟۡﻤُﻠۡﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟۡﺤَﻤۡﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠٰﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻴۡﺊٍ ﻗَﺪِﻳۡﺮٌ .
Niscaya dosanya akan diampuni oleh Allah walaupun dosa itu sebanyak buih lautan. [3]
Dzikir juga merupakan sarana do’a sebagaimana sabda Rasulullah: “Barangsiapa yg membaca surat al-Waqi’ah setiap malam, maka dia selamanya tidak akan pernah terkena kefakiran.” [4]
TATA KRAMA BERDO’A
1. Tidak tergesa2, dengan berkata saya sudah berdo’a kepada Allah tapi Dia tidak mengkabulkannya.
Syarat ini berdasarkan hadits Rasulullah :
ﻭَﻋَﻦۡ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮۡﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ r ﻗَﺎﻝَ : ﻳُﺴۡﺘَﺠﺎَﺏُ ِﻷَﺣَﺪِﻛُﻢۡ ﻣَﺎﻟَﻢۡ ﻳَﻌۡﺠَﻞۡ ﻳَﻘُﻮۡﻝُ ﻗَﺪۡﺩَﻋَﻮۡﺕُ ﺭَﺑِّﻲۡ ﻓَﻠَﻢۡ ﻳُﺴۡﺘَﺠَﺐۡ ﻟِﻲ . ‏( ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ‏)
‏( ﺭﻳﺎﺽ ﭐﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ، ٥٦٣ ‏)
“Dari Aisyah Ra. Bahwa Rasulullah r bersabda: “Do’a seseorang akan dikabulkan selama tidak tergesa2, yaitu dia berkata: “Saya telah berdo’a kepada Tuhanku tapi Dia tidak mengkabulkan untukku.”
2. Yakin bahwa Allah akan mengkabulkan do’anya, sebagaimana Allah berfirman:
ﺃُﺩۡﻋُﻮۡﻧِﻲۡ ﺃَﺳۡﺘَﺠِﺐۡ ﻟَﻜُﻢۡ
“Berdo’alah kamu sekalian kepada-Ku maka Aku mengkabulkan untukmu.”
3. Sangat ditekankan agar berdo’a dilakukan dalam keadaan berwudhu.
4. Sebaiknya dilakukan dengan menghadap kiblat.
5. Sebaiknya dilakukan di tempat beribadah seperti mesjid atau mushola.
6. Sebaiknya dibarengi dgn berpuasa khosh.
HAL-HAL YANG DAPAT MERUSAK DO’A
1. Maksiat kepada Allah, karena maksiat dapat mengotori jiwa. Jiwa yg kotor tidak dapat dekat kepada Allah karena Allah itu Maha Suci. Perumpamaan orang yg beribadah tapi dibarengi dgn maksiat ibarat orang yg membangun sebuah istana tapi pada saat yg sama dia menghancurkan istananya.
2. Sibuk dengan aib orang lain, keras hati, cinta dunia, sedikit rasa malu, panjang angan2 dan dzalim yg terus menerus. Nabi bersabda:
ﺳِﺘَّﺔُ ﺃَﺷۡﻴَﺎﺀَ ﺗُﺤۡﺒِﻂُ ﺍﻟۡﺄَ ﻋۡﻤَﺎﻝَ ﺍۡﻹِﺷۡﺘِﻐَﺎﻝُ ﺑِﻌُﻴُﻮۡﺏِ ﺍﻟۡﺨَﻠۡﻖِ ﻭَﻗَﺴۡﻮَﺓُ ﺍۡﻟﻘَﻠۡﺐِ ﻭَﺣُﺐُّ ﺍﻟﺪُّﻧۡﻴَﺎ ﻭَﻗِﻠَّﺔِ ﺍﻟۡﺤَﻴَﺎﺀِ ﻭَﻃُﻮۡﻝِ ﺍﻟۡﺄَﻣَﻞِ ﻭَﻇَﺎﻟِﻢٌ ﻻَ ﻳَﻨۡﺘَﻬِﻲۡ .
“Enam perkara yg dapat melenyapkan pahala amal, yaitu: sibuk dgn aib makhluk, keras hati, cinta dunia, sedikit rasa malu, panjang angan2 dan dzalim yg terus menerus.”
3. Berburuk sangka kepada Allah, seperti ragu2 do’anya tidak dikabulkan Allah Karena Nabi
bersabda:
ﺃَﻧَﺎﻋِﻨۡﺪَﻇَﻦِّ ﻋَﺒۡﺪِﻱۡ
“Aku tergantung sangkaan hambaku”
Sumber :
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, jld V, hlm. 235-236.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
jld V, hlm. 235-236
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, jld V, hlm. 235-236.
[4] Muhammad Haqqi al-Nazili, Khazinah al-Asrar , Singapura : Al-haramain, hlm. 169.